Talkshow Sejarah di Pulau Kiddo – 7 Dec 14

 

Email undangan untuk menjadi salah seorang nara sumber di acara Fesfival Pembaca Indonesia datang di suatu sore yang sumpek, banyak meeting, saat banyak tumpukan dokumen yang harus ditandatangan di meja kerja saya di kantor. So, kedatangan email ini berhasil memporakporandakan kebosanan in my daily mundane life 🙂

Oke, reaksi pertama saya adalah: kaget, ya kaget. How come? Kog saya yang baru mulai menulis novel anak tahun 2014 ini kog sudah diminta jadi nara sumber. Tapi lalu saya lihat tema talkshow itu yaitu tentang sejarah dalam buku fiksi anak. Well, oke, memang nyambung novel-novel yang sudah saya karang dengan tema. Pasti itulah alasannya saya diminta jadi nara sumber. Reaksi kedua: jiper. Yak soalnya saya akan tampil bersama Eyang Djoko Lelono, penulis senior yang karyanya sudah saya baca sejak saya kecil. But the challenge was most too got to be passed. Jadi saya confirm ok, walaupun agak kurang pede.

Hari H, saya datang kepagian 🙂 Tapi ini keputusan tepat karena ternyata hari itu car free day di Jakarta yang mengakibatkan mbak moderator cantik (siapa lagi kalau bukan Mbak Dikha dari Penerbit Kiddo) yang berangkat dari rumah satu setengah jam sebelum acara terjebak macet dalam labirin jalanan non protokol sehingga harus ganti moda transportasi dari taxi loncat ke ojek 🙂

Narsis dulu:

Talkshow 9

Jam 10.30 sharp, acara dimulai. Suasana diskusi sangat cair dan santai, terutama karena Eyang Djoko dengan penampilan retronya yang serba merah-oranye segar mengajak bercanda melulu 🙂 Berikut ini adalah cuplikan dari hasil diskusi saat itu, diambil dari catatan saya dan dari ingatan saya. Semoga saja ingatan saya tidak terlalu mengecewakan.

Bagaimana cara membuat cerita berlatar sejarah itu?

Ada beberapa cara untuk membuat cerita berlatar sejarah misalnya dengan menarik si tokoh utama ke masa lalu, misalnya dengan penjelajahan menggunakan mesin waktu. Misalnya dalam cerita Tifa Tua karangan Eyang Djoko dimana si tokoh terhisap ke masa lalu setelah menabuh sebuah tifa tua. Di dalam seri Misteri Favorit karangan saya, sejarah dibuat sebagai latar belakang cerita dimana para tokoh utama berusaha memecahkan misteri dengan mengikuti petunjuk dan memecahkan teka-teki yang berhubungan dengan suatu peristiwa sejarah.

Bagaimana menggali ide untuk membuat latar cerita sejarah?

Saya mendapatkan ide dari banyak tempat dan melalui banyak cara. Misalnya dari lingkungan tempat tinggal saya sewaktu kecil di Kampung Sewan (ide buku Misteri Kota Tua), saat mendengar cerita tentang masa kecil bapak saya di Gunungkidul (ide Misteri Gua Purba), saat membaca potongan suratkabar tentang kisah hidup seorang penari (ide Misteri Kota Topeng), saat sedang membaca sebuah buku sejarah (ide Misteri Kampung Hitam). Proses penemuan ide-ide ini dapat dibaca lebih lengkap di link berikut : Behind the Scene : Misteri Kampung Hitam, Behind the Scene : Misteri Kota Topeng, Behind the Scene : Misteri Gua Purba, Behind the Scene : Misteri Kota Tua. 

Apakah tantangan dalam menulis cerita bertema sejarah?

Dalam hal ini Eyang Djoko dan saya sepakat seratus persen bahwa tantangan utama adalah dalam melakukan riset, riset, riset. Riset bisa dilakukan melalui internet alias tanya sama Mbah Google, bisa melalui buku-buku, datang langsung ke lapangan atau interview.

Pernahkan melakukan kesalahan fatal dalam penulisan tema sejarah, misalnya kesalahan nama/tahun, dll? Bagaimana solusi untuk menghindari kesalahan ini?

Fatal? Belum pernah. Amit-amit sih, jangan sampai.

Apabila ada suatu fakta mengenai seorang tokoh yang belum terlalu jelas atau hendak dimodifikasi, diadaptasi, dan sejenisnya, maka bisa saja namanya dibuat mirip namun tidak sama. Misalnya Adityawarman menjadi Pradikhawarman (ini contoh dari Eyang Djoko). Study literature harus dilakukan secara extensif. Harus cek ricek dan check crosscheck. Jika punya link-link ke koleksi perpustakaan digital di dalam dan luar negeri akan sangat membantu. Dan yang terakhir banyak doa, supaya semua riset yang sudah dilakukan tidak meninggalkan suatu celah kekurangan apapun 🙂

Apakah selama proses riset pernah mengunjungi lokasi cerita alias seting? Perlukah hal ini?

Pernah. Perlu? Relatif. Namun kalau memang bisa dikunjungi, mengapa tidak? Dengan mengunjungi lokasi dimana tokoh-tokoh dalam novel kita akan menjalani hari-hari menengangkan dalam hidupnya, kita, sebagai penulis dapat memperoleh gambaran yang lebih tepat mengenai situasi setting (supaya deskripsi seting di novel tidak meleset), bagaimana kehidupan di tempat itu, bagaimana orang-orang berinteraksi dan berbicara di tempat itu. Salah satu tips penting yang saya pelajari dari teman saya, seorang peneliti yang pernah membantu riset lapangan saya untuk buku saya yang keempat : Misteri Kampung Hitam : “saat ingin menggali informasi tentang sejarah suatu tempat, carilah orang yang paling tua yang tinggal di tempat itu. Tak perlu ketua rt, rw atau lurah, cukup yang paling tua dibanding orang-orang lain yang tinggal di situ, bisa ibu warung, tukang cari rumput, etc, dll, dsb. Lalu, galilah informasi sebanyak-banyaknya dari orang tersebut.” Orang yang sudah tua biasanya senang bercerita. Dari cerita mereka akan didapatkan detil-detil, fakta unik, informasi nyeleh menarik yang luput dari liputan berita atau buku sejarah.

Kalau untuk cerita sejarah masa lalu bagaimana? Jikapun datang ke lokasi, bangunan dan orang-orangnya kan sudah tidak ada semua.

Walaupun begitu, dari pengalaman saya, dengan datang ke lokasi, saya bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana hidup di masa silam di tempat itu. Dan yang paling penting, dengan berada di lokasi, imaginasi jadi lebih mudah dibangkitkan dan ide-ide lebih banyak berseliweran. Jadi sekali lagi, kalau memungkinkan, mengapa tidak?

Apakah punya pengalaman menarik selama riset lapangan?

Punya. Banyak. Misalnya ditunjukkin tempat lahirnya Jendral Ahmad Yani di suatu gedung besar yang sekarang tinggal reruntuhan oleh seorang gembala kambing. Nyusur jurang demi gua jepang. Bertemu cucu Mimi Rasinah, penari topeng legendaris dari Indramayu. Sampai di sumur tempat pemenggalan kepala di jaman revolusi kemerdekaan (lihat doank dari jauh, gak berani mendekat). NYASAR. Dipelototin orang yang curiga karena penampilan saya mirip gembel, dll.

Di dalam cerita Misteri Kota Tua ada cerita si tokoh utama yang adalah anak-anak naik angkot. Apakah hal ini tidak berbahaya? Mengajak anak-anak untuk berani naik angkot? 

Dalam acara sesi tanya jawab itu saya menjawab bahwa toh tidak setiap hari anak-anak naik angkot dan lagipula si anak itu naik angkot setelah melalui pertimbangan matang untuk menjawab tantangan memecahkan misteri yang mereka hadapi.

Bagaimana mengenai pemilihan bahasa dalam buku anak?

Pesan penting dari Eyang Djoko : bahasa dalam buku anak harus KOMUNIKATIF. Satu kalimat tak lebih dari 10 kata. Saya setuju. Saya juga berprinsip buku fiksi tak boleh merusak bahasa, jadi bahasa baku asal luwes dan hindari pemakaian kata makian kasar dan berlebihan.

Apakah unsur misteri dalam cerita anak tidak akan membuat anak takut?

Jawaban saya saat itu: dalam buku saya tidak ada unsur mistis. Misteri ya. Tapi jenis misteri nyata yang dapat dipecahkan. Tidak ada hubunganya dengan setan, tuyul dan mahluk ghaib lainnya. Ketegangan ya, ada, tapi tidak ada unsur mistis.

Lalu saya pikirkan lagi pertanyaan ini di rumah dan sampai pada pemikiran: bukankah rasa takut itu candu? Anak-anak memilih untuk membaca buku itu karena ingin ditakut-takuti bukan? Ingin merasakan ketengangan. Yang penting asal rasa takut atau ketegangan akibat membaca novel saya tidak sampai mempengaruhi kesehatan jiwa 🙂

Apakah ada pesan moral dari cerita-cerita Serial Misteri Favorit?

Pertanyaan ini dijawab telak oleh Mbak Dikha, bahwa dalam serial ini pesan moral berupa sikap berani, pantang menyerah dari si tokoh utama dan teguh hati. Jawaban dari saya? Well, saya hanya berharap dari serial misteri yang mengenalkan sejarah Indonesia ini, anak-anak tidak melupakan sejarah bangsa yang plural dan penuh keberagaman.

Dengan pertanyaan tersebut acara diskusi selesai. Selanjutnya bagi-bagi hadiah untuk penanya terinspiratif.

talkshow 3

Acara selanjutnya pulang hehe. Sebelum pulang ada yang minta tangan. Uhuy 🙂 *keselek dondong* Daaan ada kejutan. Ternyata editorku dari Wahyu Media Mbak Lutfia hadir juga. Jadi deh foto-foto dengan beliau.

talkshow 5Talkshow 8

Dengan Mbak Lutfia 🙂

Talkshow 7

Aha! Mbak Dikha lagi motret dua penulisnya yang bakal tampil satu seri di bulan Januari 2015 🙂

Oke, sekian dulu sharingnya. Semoga bermanfaat.