Dari Seminar Nasional Apa Kata Perempuan Peneliti Sastra Anak : Menulislah Tentang Indonesia!

Pada tanggal 21 hingga 22 April lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti Seminar Nasional : Apa Kata Perempuan Peneliti Sastra Anak yang diadakan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Seminar ini diselenggarakan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) pimpinan Ibu Murti Bunanta.

Ada 9 peneliti yang bicara. Topik-topiknya beragam seperti ini :

Pembahasan secara lengkap mengenai masing-masing topik sudah dituliskan oleh Kak Agnes Bemoe di dalam blognya. Kak Agnes membuat tiga artikel yang bisa dibaca di SINI.

Topik yang menjadi favorit saya adalah “Buku Bacaan Anak Pilihan Dilihat dari Isi, Penyajian, Bahasa, Ilustrasi dan Penggunaan serta Kegunaan” yang dibawakan oleh Dr. Murti Bunanta dan “Kekerasan Simbolik Dalam Sastra Anak Karya Penulis Anak Indonesia” yang dipresentasikan oleh Dr. Dina Dyah Kusumayanti. Kedua topik ini, menurut saya juga interelated, sama-sama menyampaikan pesan bahwa penulis buku anak seharusnya menulis untuk seluruh kalangan Anak Indonesia dan tentang Indonesia.

Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Mengutip makalah Dr. Murti : “mengapa bahasa sangat penting dalam sebuah buku? Hanya dari buku bermutu yang ditulis dengan bahasa yang tertib dan kaya yang dapat menunjukkan pada anak kekuatan kata-kata dan bahasa.”

IMG_20180619_052841

Karena anak akan mengembangkan kemampuan bicara dan ketrampilan menulis dari buku yang dibacanya, maka para penulis buku untuk anak-anak mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang baik, jauh dari bahasa gaul, tidak menggunakan dong, deh, dan sejenisnya, dan menghindari penggunakan ekspresi, termasuk pemakaian onomatope dalam bahasa asing. Apa itu “onomatope”? Saya juga juga baru mendengar istilah ini. Ternyata itu adalah kata yang menirukan bunyi. Onomatope dalam bahasa asing contohnya : aaargh, splash, boom, erg, dll. Bahkan buku saya juga ada yang menggunakan istilah ini. Secara khusus Dr. Murti memuji onomatope dalam buku “Ring of Fire” karya Kak Agnes Bemoe yang menggunakan kata “gluduk, gluduk, jeder…”

Bahasa Kekotaan dan Kekerasan Simbolik

Disoroti juga oleh Dr.  Murti mengenai penggunaan nama tokoh dan latar tempat yang asing, atau “kekotaan”. Contoh nama tempat: Dinoland, Gnomeville,  dll.  Lalu nama tokoh : Dimitri,  Dixie,  Gibby, Lodewick,  Morelo,  dsb. Mengutip kata-kata Dr.  Murti,  “…nama -nama tersebut mungkin tidak asing bagi sebagian anak Indonesia namun sangat dilematis bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil…”

Penulis seharusnya berlaku adil dan menulis untuk seluruh kalangan anak Indonesia, bukan begitu?  (kalimat saya terakhir ini adalah pengingat untuk diri saya sendiri).

Dr.  Dina Dyah dari Universitas Jember bahkan menarik garis lebih jauh lagi dalam makalahnya dengan menghubungkan nama tokoh yang kebarat-baratan sebagai suatu  bentuk kekerasan simbolik.

Tidak hanya nama tokoh, subyek penelitian Dr.  Dyah juga meliputi pemilihan nama makanan dan alat musik dalam buku-buku KKPK.  (catatan saya – mohon diingat : walaupun Dr Dyah memilih buku-buku KKPK sebagai obyek penelitiannya, hasil penelitiannya sangat relevan untuk buku-buku anak secara umum).

Apa itu kekerasan simbolik dan seperti apa akibatnya?

Menurut teori Bourdieu dan disarikan dari makalah Dr. Dyah, kekerasan simbolik adalah praktik pemaksaan kehendak oleh seseorang agar orang atau kelompok dari kelas sosial lain (yang dianggap lebih rendah) mengakui keberadaannya dan mengikutinya. Kekerasan simbolik dengan menggunakan bahasa bersifat tak kentara dan tak kasat mata. Kelompok dari kelas sosial lain itu pun cenderung untuk mengikuti, menirukan, mengimitasi tanpa merasakan intimidasi atau dominasi. Kekerasan simbolik yang berulang-ulang bahkan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Mengutip isi makalah”...hal yang sedang dipaksakan justru diikuti secara sukarela, seakan menjadi kebenaran  (legitimate) dan bahkan bila tidak diikuti akan terjadi marginalisasi terhadap korban…”

Contohnya, selain nama tokoh seperti sudah disebutkan di atas,nama makanan seperti cupkace, bicere egg, salad buah, whipping cream, pizza; nama binatang peliharaan macam puffy, snap, jewel, ginger, dan sejenisnya menunjukkan bahwa karakter anak dalam sebuah buku berasal dari kelas sosial tertentu yang biasanya adalah kaum urban. Padahal, tidak semua anak yang membaca buku itu adalah kaum urban. Akibatnya pembaca (yang masih anak-anak) ini merasa perlu mengikuti gaya hidup dan kultur dari tokoh di buku yang mereka baca. Hal ini mungkin tidak disadari oleh penulis buku dan juga pembacanya. Ditakutkan, apabila pembaca terus terpapar pada budaya kekotaan seperti ini maka perlahan-lahan akan terjadi peniadaan kultur  (lokal) secara masif nantinya.

Menulislah tentang Indonesia

Isi makalah Dr. Dyah memang kontroversial, pembahasannya pun paling ramai dan panas. Saya sendiri tidak cukup punya latar belakang akademik untuk menyatakan opini ilmiah dalam hal ini. Namun saya setuju pada kesimpulan Dr. Dyah bahwa “…ada baiknya para pembaca anak Indonesia dienalkan pada nama-nama dan jenis makanan lokal agar mereka mengenal keberadaan, keotentikan dan kearifan kultur Indonesia yang beragam..”

Selain itu, Dr. Murti dalam makalahnya juga menyebutkan bahwa justru yang dibeli copyrightnya oleh penerbit luar negeri adalah buku dengan nama tokoh dari budaya lokal. Jadi, penulis buku anak, menulislah tentang Indonesia.

Dari Seminar Sastra Anak (Bagian 2) : Buku-Buku Pilihan

Ditandai sebagai: