Sebagai orant tua, sebenarnya saya tidak pernah berpedoman pada penjenjangan buku dalam standard apapun saat memilihkan bahan bacaan untuk anak saya sendiri, karena saya percaya tiap anak punya kemampuan membaca yang mungkin tidak sama dengan standar penjenjangan baku. Si Kakak, misalnya, sudah membaca novel berbahasa Inggris 500 halaman lebih saat kelas 3 SD, padahal berdasarkan standard penjejangan seharusnya anak kelas 3 SD membaca buku level 4 atau 5. Kalau Si Kakak disodori buku level 5, tentu dia akan meradang. Sebaliknya anak kerabat yang tidak suka membaca (tetapi sangat berbakat di bidang lain), di usia yang sama tidak akan sudi membaca buku yang sedikit gambar dan lebih wordy daripada 5 kalimat per halaman. Jadi yah begitulah….

Namun, sebagai penulis, saya kerap memanfaatkan penjejangan ini saat menentukan target pembaca untuk buku-buku yang saya tulis. Double standar? I don’t know. Maybe, maybe not. Yang pasti saya merasa perlu memiliki sebuah pegangan saat sedang menulis sebuah buku, terutama buku cerita bergambar karena saya adalah penulis yang sangat bergantung pada format, struktur dan plot. Masih ingat semboyan saya? In PLOT, we trust! Novel atau picture book, selama ada struktur di sana, I feel comfortable.
Biasanya setelah menggali ide, langkah yang saya lakukan adalah menentukan format. Saat menentukan format inilah book leveling comes into play.
Baca juga : Inilah Proses Saya Membuat Picture Book
Kembali ke topik utama, istilah penjenjangan buku pertama kali saya dengar saat saya mengikuti sebuah workshop di Yogyakarta. Pada intinya penjenjangan adalah pengelompokan buku bacaan anak berdasarkan jumlah kata dan kalima, struktur kalimat serta proporsi ilustrasi agar lebih sesuai dengan kemampuan membaca para pembaca cilik. Misalnya bacaan untuk anak TK, diberi level 1, di mana gambar merajai halaman, jumlah kalimat hanya satu per halaman, dan kalimatnya pun pendek dengan struktur sederhana. Contoh lain : bacaan untuk anak SD kelas tinggi diberi level 5 dimana gambar dan text seimbang komposisinya, dan satu halaman bisa terdiri dari 8 kalimat.
Sebelum memutuskan, tipe pengelompokan seperti apa yang akan saya ikuti, saya sempat membandingkan beberapa stadard book leveling dari beberapa sumber yang berbeda yang bisa saya temukan di internet, dan hasilnya, memusingkan karena variasinya lebar sekali.



Nah, ternyata pengelompokan bisa terdiri lebih dari 20 tingkat. Saya jadi tambah pening. Akhirnya, saya putuskan saya akan menggunakan standard di bawah ini yang tempo hari diajarkan dalam workshop RtR. Pengelompokan ini, menurut saya, belum lengkap, karena berhenti di level 5. Tetapi untuk menulis cerita bergambar untuk anak TK hingga SD kelas 3, menurut saya (lagi), standard ini sudah memadai dan sudah cukup membantu.

Oh ya, untuk novel bagaimana? Kalau sedang menulis novel, saya tidak menggunakan standard pengelompokan apapun. Menulis saja sampai tamat, yang penting PLOT sudah ada. Ingat PLOT itu buat saya adalah wajib. Setelah tulisan selesai, barulah kita (saya dan editor) memangkas halaman pontang panting. Jadi penjenjangan hanya saya manfaatkan ketiga menulis buku cerita bergambar saja.
Jadi bagaimana, apakah celoteh di atas bermanfaat?