Dalam postingan saya tentang Behind The Scene buku Misteri Gua Purba, saya sudah pernah bilang kalau pada saat sedang mengedit buku Gua Purba itu, tiba-tiba otak saya ngebul lagi. Ide cerita baru nongol tak terkendali. Dan…hasilnya adalah buku misteri ketiga ini yang akhirnya diberi judul Misteri Kota Topeng Angker.
Munculnya Ide
Seperti buku yang kedua, ide buku ketiga ini juga datang di saat tak terduga. Saat saya sedang suntuk mengedit buku kedua, saya biasa colak-colek dua orang tong sampah teman saya yang biasa biasa mendapat tibanan rejeki curcol berjam-jam dari saya. Nah salah seorang teman saya itu kebetulan berasal dari Indramayu. Saat sedang chatt bertiga, entah kenapa kog saya sepertinya ingin menulis tentang kota itu. Laluuu, secara kebetulan juga, saya membaca artikel lama di harian Kompas tentang pentas terakhir maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah, pada tahun 2010. Entah bagaimana ceritanya potongan koran itu bisa ada di telapak kaki saya dan saya baca pulak (literally, koran tua itu memang ada di telapak kaki saya karena sedang saya injak). Setelah membaca artikel lawas itu, saya tersihir. Saya terpesona pada Mimi Rasinah. Saya tersengat ide. Moment kesambet saya pun dimolay tanpa bisa dibendung lagi (halah!) Jadi begitulah munculnya ide untuk buku ini. Serba kebetulan. Mungkin ini takdir.
Studi Literature
Oke, ide boleh sederhana, tapi riset tak pernah sederhana. Saya merasa perlu menonton rekaman pertunjukkan tari topeng Indramayu yang tersebar di youtube. Saya harus membaca banyak buku sejarah seperti biasa. Tak masalah. Membaca buku sejarah itu hobby saya. Tapiii saya merasa ada yang kurang. Membaca buku saja kog rasanya tidak cukup. Indramayu begitu dekat, jadi saya pikir kenapa tidak pergi saja ke sana. Sebenarnya beberapa waktu lalu, saya sudah pernah mengunjungi kota ini. Tapi apa salahnya merefresh memory. Pasti banyak hal yang bisa dilihat, diraba, dirasakan langsung di kota Penari Topeng itu, hal-hal yang mungkin terlewat dalam kunjungan pertama saya. Toh saya ada teman di sana, yang bisa saya recokin dan saya bikin repot tanpa perlu merasa bersalah (hehehe…)
Tekad sudah bulat. Gagasan untuk berkunjung ke Indramayu pun saya lemparkan ke dua orang teman baik saya itu. Mimi Nana dan Cici Sierli. Dan surprise! Mereka berdua langsung siap menemani saya ngebolang di Indramayu. Uhuuuy! This adventure is going to be great!
In Situ Research
Well, well, dengan bantuan Nana yang bersedia menampung saya, emak-emak rempong ini selama di Indramayu, jadilah saya melakukan In Situ Research (ini istilah saya saja, yang maksudnya riset di TKP, entah ini istilah benar atau ngawur). Target-target kunjungan adalah kawasan-kawasan bersejarah (Tempat kuno yang mana? Eits baca di bukunya dong) dan tentu saja Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang kesohor hingga mancanegara.
Setelah pengalaman dag dig dug di suatu kawasan tua tak berpenghuni (kawasan mana? Idih gak sabaran amat, baca di bukunya aja okeeeh), sampailah kita di Sanggar Tari Topeng. Setelah Mimi Rasinah meninggal dunia, sanggar ini diasuh oleh cucunya, Mimi Aerli. Saya diterima dengan ramah sekali oleh Mimi Aerli dan suaminya Mas Ade. Mereka tak keberatan, isi kepalanya saya korek-korek. Filosofi hidup mereka, potongan-potongan sejarah Tari Topeng dan para dalangnya, serta keprihatinan tentang nasib tari topeng masa kini. Tak dinyana ternyata koreografi tarian Topeng Panji Rogoh Sukma, nama tarian terakhir Mimi Rasinah, yang telah magically berhasil menyihir saya itu dibuat oleh Mas Ade. Wow. Double Wow. Triple Wow. Semaput.
Mas Ade dan Mimi Aerli juga mengajak saya ke Rumah Topeng, tempat berbagai suvenir Tari Topeng kayu dijual. Sayang waktu itu banjir baru saja surut, jadi banyak barang yang rusak dan tak marketable lagi. Namun saya sempat menggali beberapa barang disana. Beberapa dari suvenir ini akan saya bagikan untuk 20 pemesan pertama buku ini *cengir*
Menciptakan Karakter
Tokoh utama novel ini, tentu saja anak laki-laki dan perempuan. Usia sekitar dua belas tahun sajalah. Di novel pertama saya buat tokoh anak laki-laki yang dominan. Di novel kedua saya buat tokoh anak perempuan yang pandai dan pecicilan luar biasa. Di novel ketiga, komposisi karakter utama macam mana yang hendak saya buat? Bingung.
Mendadak saya berpikir kenapa tidak membuat tokoh anak laki-laki yang mellow dan anak perempuan yang periang with positive attitude? *fingersnapping* Aha! Jadilah karakter utama saya. Nama tokoh muncul begitu saja : Danu dan Ira. Jangan tanya darimana datangnya nama ini. Saya tidak tahu. Muncul begitu saja *namanya juga sedang kesambet*
Tokoh antagonisnya siapa? Ergh…yang kelihatan antagonis sih banyak. Yang benar-benar jahat sih ******** (sensor – semua ada dalam bukunya, jadi baca aja sendiri yes?)
Tokoh bumbu? Banyak juga. Yang pasti mereka semua punya tingkah aneh bin lucu dan semua punya peranan penting. Apa itu tokoh bumbu? Ini sih hanya istilah saya saja untuk tokoh-tokoh yang hadir selintasan namun berkesan kuat dan memberikan selingan menyenangkan.
Membuat Alur
*tarik napas* Ah membuat alur untuk buku ini susahnya bukan main. Momen kesambet saya sempat berhenti sesaat. Justru setelah bertemu Mimi Aerli, ide tumpah, tapi saya tidak tahu mau mengambil ide yang mana selain takut mengecewakan hasilnya, takut juga jika kurang sesuai. Selain itu konsentrasi saya sempat terpecah karena ada turmoil di tempat saya bekerja di luar rumah.
Namun setelah mengeplaki diri sendiri sekitar seratusan kali dan membaca buku-buku thriller karangan Michael Cricton, Agatha Christie, Dan Brown, John Grisham yang tidak pernah saya baca sampai habis (ya anehnya, walaupun saya menulis untuk anak-anak, tapi bacaan yang saya gunakan untuk memancing ide tidak ada yang buku anak-anak, semua thriller untuk orang dewasa) dan menonton film National Treasure serta Indiana Jones, barulah saya dapat pencerahan, ide mana yang mesti dituliskan. Outline seperti biasa saya buat dengan tulisan tangan seperti ini:
Selain alur saya oret-oret juga peta yang diprint dari google map untuk mengukur jarak dan rentetan gerak tokoh utama supaya pengaturan tempo ceritanya masuk akal dan cukup cepat.
Mengenai proses pembuatan alur, saya pernah sharing di artikel Behind the Scene : Misteri Gua Purba. Prosesnya sama saja: tulis dalam alur maju lalu acak-acak plus tambahkan clue, red herring, dan jebakan batman di sini dan di situ. Voila! Outline saya pun selesai. Hore! *sujud sukur*
Mulai Menulis
Outline untuk saya adalah segala-galanya. Saya tidak bisa menulis tanpa outline. Semboyan saya “In outline we trust” 🙂 Jika sudah ada outline maka proses menulis pasti cepat. Ditambah lagi saya dapat ijin untuk mengungsi satu hari ke rumah orang tua untuk menulis tanpa diganggu. Jadilah dua minggu naskah selesai (jauh lebih lama waktu yang diperlukan untuk bikin outlinenya).
Ending untuk cerita ini tak akan terlalu menggantung seperti novel kedua, dan tidak menimbulkan pertanyaan misteri baru seperti novel pertama. Namun pasti ending di buku ini akan tetap misterius alias akan tetap ada hal yang tak terpecahkan. *hihihi seringai jahil*
Menuju Penerbitan
Sebelum naskah selesai ditulis, saya dengan pede dan tak tahu malunya bertanya pada Mbak Dikha, editor cantik dari Kiddo tentang kemungkinan naskah saya bisa dikirim ke sana. Mbak Dikha, surprisingly, langsung kasih lampu hijau. Beliau minta supaya cerita ini ditulis langsung dengan gaya Kiddo alias langsung pakai fakta unik dan guideline ilustrasi. Aih, saya malah jadi deg-degan. Takut hasilnya tak sesuai harapan. Takut naskahnya jelek, gak bagus, gak oke, kurang misterius.
Tapi setelah meyakinkan diri sendiri, saya berani juga mengirim softcopy naskah di suatu pagi. Dan acc datang 24 jam kemudian. Saya koprol. Kayang. Goyang hula hoop. Terus pingsan.
Editing
Editing isi dan proses ilustrasi berjalan smoothy vanilla, alias lancar banget. Mbak Dikha dengan sabarnya menutup lubang-lubang di sana-sini. Lubang-lubang yang masih tetep aja kelewatan oleh otak saya yang kecil ini. Mas Indra Bayu membantu dengan ilustrasinya yang ciamik. Judul buku yang aslinya adalah Misteri Penari Topeng diganti menjadi Misteri Kota Topeng Angker, sesuai dengan karakter salah satu dari kelima topeng yang harus dicari oleh tokoh utama. Seberapa angker sih? Kenapa topeng itu penting? Well… baca aja di bukunya yaaa…
Semoga saja buku yang ketiga ini juga mendapat sambutan hangat seperti pendahulunya 🙂
PS. Saat buku ini sedang menjalani proses editing, tadinya saya mau santai-santai dulu. Tak mau menulis dulu. Istirahat. Tapiiii apes, saya salah baca buku. Di saat “santai” biasanya saya memang membaca buku. Tapi tak disangka, buku yang saya ambil sembarangan dari rak buku di perpus pribadi saya di rumah ternyata malah membuat otak saya ngebul lagi. Lagipula salah saya juga, di saat santai kenapa membaca buku dokumenter tentang kisah hidup suatu kelompok **** (sensor) yang pernah ikut-ikutan meramaikan sejarah di Indonesia… Aiiih… buku keempat menyusul segera yaaa… Nantikan.