Oke ini dia satu-satunya cerpen anak alias cernak karya saya yang pernah dimuat di Kompas Anak. Saya memang hanya pernah mengirim cernak dua kali ke Kompas Anak. Satu dimuat satu ditolak. Nah, inilah dia yang diterima. Karena karya ini sudah dimuat cukup lama, sepertinya sudah waktunya untuk diposting di blog, daripada hilang dari kenangan. Enjoy!
Karung Piet Hitam
Yovita Siswati
Dadaku berdebar. Natal segera tiba. Tak lama lagi Opa Santa dan Piet Hitam pasti mampir ke rumahku. Ya, di Maluku ini setiap tahun Opa Santa dan asistennya yang setia si Piet Hitam pasti berkeliling dari rumah ke rumah. Sebenarnya aku tak takut pada Sinterklas. Kalau dia jahil bisa langsung kutarik jenggot putihnya. Opa Santa takkan marah. Paling hanya meringis saja. Tapi aku takut bukan main pada Piet Hitam dan karungnya yang sebesar lemari
Kakakku Leo, selalu menunggu kedatangan Sinterklas dengan penuh semangat karena dia anak baik. Dia pasti diganjar banyak hadiah. Nah kalau aku? Coba kuingat-ingat, apa saja yang sudah kulakukan setahun ini. Hmmm… tak banyak sih paling hanya mencabuti bulu ayam piaraan Oom Albert hingga pitak berpola zigzag, memelihara ikan di bak mandi rumah Nenek, menggambari wajah anjing tetangga dengan spidol dan krayon, menempelkan lakban di mulut si Meong, kucing kesayangan Tante Marisa,….
TIN TIN! Suara klakson! Apakah Opa Santa dan pengawalnya sang Piet Hitam sudah datang? Aku mengintip takut-takut dari balik tirai ruang tamu.
“Ah hanya Pak Pos,” aku mendesah lega.
Sinterklas di kota Ambon ini memang sungguh aneh. Dia tak pernah datang dengan kereta salju yang ditarik sekawanan rusa.Tahun kemarin Opa Santa datang dengan mobil pick-up. Dia dan Piet Hitam berdiri dengan tangan terentang di bak belakang dekat tumpukan kado. Hampir saja jenggot Opa Santa hilang dibawa angin. Dua tahun lalu mereka malah datang dengan diantar tukang ojeg. Entah dengan kendaraan macam apa mereka akan tiba tahun ini. Aku harus selalu waspada. Tak boleh lengah sedikitpun.
Hari sudah siang. Aku berbaring malas di sofa. Sepertinya Opa Santa takkan datang hari ini. Diam-diam aku berharap Opa Santa lupa alamat rumahku. Lama kelamaan mataku terasa berat. Lebih baik aku tidur siang dulu sejenak.
“Sisca,bangun! Sinterklas datang!” Kak Leo menyeringai.
Aku terkesiap. Kulihat senyum legam Piet Hitam yang sungguh mengerikan. Kulirik pintu. Pantas saja tak kudengar suara kedatangan Opa Santa, rupanya dia dan Piet Hitam datang naik sepeda onthel!
“Halo Leo,” sapa Opa Santa. “Kudengar, kau sudah menjadi anak baik setahun ini ya?”Hidung Kak Leo kembang-kempis. Dia pasti sedang membayangkan menerima hadiah play station dari Opa Santa. Diam-diam aku mundur ke arah pintu depan. Aku harus segera menghilang dari ruangan ini, selagi Opa Santa sedang memuji-muji Kak Leo, selagi tak ada orang yang memerhatikanku.
Di sudut ruang kulihat dua karung besar. Yang putih itu pasti milik Opa Santa. Aku yakin banyak hadiah di dalamnya. Sedangkan yang hitam itu…. pasti milik Piet Hitam. Apakah di dalamnya ada sangkar burung atau kurungan ayam raksasa yang akan dipakainya menyekap anak-anak badung seperti aku? Keringat dinginku mengalir lagi. Aku harus melakukan sesuatu! Tiba-tiba pikiran hebat melintas dalam benakku.
“Sisca, sudah giliranmu bertemu Opa Santa,” teriak Kak Leo dari dalam ruang tamu.
“Tunggu sebentar Kak,” kataku dari halaman rumah. Aku masih sibuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang akan menyelamatkanku dari hukuman Piet Hitam. Beberapa detik kemudian, setelah urusanku beres, aku melesat ke ruang tamu.
“Ya Opa Santa,” aku meringis jahil. “Aku sudah siap.”
Tiba-tiba terdengar teriakan Piet Hitam, “karungku hilang!”
Seisi rumah pun geger. Semua sibuk membantu Piet Hitam mencari karungnya. Namun tak ada yang bisa menemukannya.
“Apa yang harus kulakukan?” Piet Hitam terduduk sedih.
“Padahal karung itu berisi hadiah untuk Sisca.”
“HAH? Kenapa aku diberi hadiah?” tanyaku pada Opa Santa.
“Karena, Tuhan tahu Sisca sebenarnya anak yang baik. Dan menurut Papa dan Mama, Sisca sudah berjanji akan selalu menurut pada mereka,” terang Opa Santa.
HUHUHU…! Piet Hitam menangis teredu-sedu! Ia mengusap-usap matanya yang basah. Dan…warna hitamnya luntur! Mukanya menjadi cemong, persis seperti muka Kak Leo yang pernah kuolesi arang tempo hari. Tiba-tiba aku menjadi kasihan. Ah, betapa buruk perbuatanku, sesalku dalam hati.
“Jangan menangis Piet Hitam,” bujukku. “Aku tahu dimana karungmu.”
Kuhantar Piet Hitam menuju rimbunan daun di halaman tempat kusembunyikan karung itu. Setelah kejadian itu aku berjanji takkan nakal lagi karena aku tak mau melihat wajah Piet Hitam yang ternyata baik hati itu menjadi cemong karena riasannya luntur!